Grogi. Kata sederhana yang bisa membuat banyak orang menghindar dari kesempatan berbicara di depan umum.
Saya pun pernah (dan kadang masih) mengalaminya.
Dulu, saat pertama kali diminta jadi pembicara di
depan forum kecil, tangan saya dingin, suara bergetar, dan pikiran seolah ingin
melarikan diri. Tapi seiring waktu dan pengalaman, saya belajar satu hal
penting: grogi bukan musuh, ia adalah sinyal. Sinyal bahwa apa yang akan
kita lakukan itu penting. Dan kabar baiknya, grogi bisa dikelola—dengan bijak.
Kita sering menganggap grogi sebagai tanda kelemahan.
Padahal, justru itu adalah tanda bahwa kita manusia. Tubuh kita hanya sedang
bereaksi terhadap tekanan atau ekspektasi tinggi. Dan justru karena kita peduli
dengan kualitas penampilan kita, rasa grogi muncul.
Yang membedakan seorang pembicara pemula dengan
pembicara andal bukanlah “tidak pernah grogi,” melainkan bagaimana ia
merespons grogi.
Karena Public Speaking bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan
Berikut beberapa hal yang saya praktikkan untuk
mengelola grogi, bukan mengusirnya—karena saya percaya, grogi yang dikelola
dengan bijak bisa menjadi sumber energi positif.
1. Terima dan
Akui
Saya tidak lagi melawan rasa grogi. Saya menerimanya.
Saya katakan pada diri saya, “Saya grogi, dan itu normal.” Anehnya, begitu saya
menerima kenyataan itu, groginya malah berkurang intensitasnya. Menerima lebih
menenangkan daripada melawan.
2. Alihkan
Fokus dari Diri ke Audiens
Dulu saya terlalu fokus pada bagaimana saya terlihat
dan terdengar. Tapi kini saya ubah fokus saya: apa yang bisa saya berikan
pada audiens? Saat kita berorientasi pada kontribusi, bukan penilaian, rasa
grogi berubah menjadi rasa tanggung jawab.
3. Gunakan
Grogi Sebagai Bahan Bakar
Rasa grogi biasanya datang bersama energi tinggi. Saya
gunakan energi itu untuk membangun semangat, bukan kepanikan. Saya berdiri
tegap, senyum kecil, dan membuka dengan kalimat yang sudah saya siapkan. Begitu
kalimat pertama terucap, biasanya tubuh mulai lebih tenang.
4. Latihan,
Latihan, dan Latihan
Grogi seringkali muncul dari rasa tidak siap. Karena
itu, saya selalu berlatih. Saya simulasikan suasana panggung, saya rekam
latihan saya, bahkan saya minta umpan balik dari orang terdekat. Semakin saya
mengenali alur materi dan kemungkinan reaksi audiens, semakin kecil ruang bagi
grogi untuk mengganggu.
Mengelola grogi dengan bijak tidak berarti menjadi
kebal terhadap rasa takut, tapi justru belajar berdamai dengan ketakutan itu, dan tetap
maju.
Grogi telah mengajarkan saya untuk rendah hati,
mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh, dan berfokus pada pesan yang ingin
saya sampaikan, bukan sekadar penampilan.
Jika Anda sering grogi saat berbicara di depan umum, jangan langsung mundur. Belajarlah untuk mengenali, menerima, dan mengelolanya. Grogi bukan akhir segalanya—ia bisa jadi awal dari perjalanan Anda menjadi pembicara yang lebih kuat, lebih tulus, dan lebih berdampak.
Lakukan Tes STIFIn untuk mengenali kekuatan Speaking anda.

0 Komentar
Sampaikan komentar anda dengan tetap memperhatikan tatakrama dan kesopanan